Langsung ke konten utama

Petani dan Pedagang

Isu petani dan pertanian Indonesia tersudut di ruang sempit, jauh dari perbincangan publik. Sesekali muncul ke permukaan sebagai selingan di antara riuh rendahnya obrolan politik. Kebanyakan menyoroti soal tingkah laku elit-elit politik dan kontroversi yang ditimbulkannya di tengah masyarakat dan sosial media. Cadangan beras menyusut, harga daging melonjak setiap menjelang hari raya, heboh segala impor bahan pangan, atau yang belakangan mencuat, soal harga cabai yang membumbung tinggi, tidak ditempatkan sebagai soal pangan, petani, dan pertanian, melainkan perkara dagang. Negeri ini, juga para pengurusnya, dari puncak piramida kekuasaan sampai ke tokoh-tokoh di pelosok kampung dan dusun, semakin menjadi-jadi saja pengingkarannya akan takdir bangsa agraris yang hidup di negeri agraris.

Dulu, bau rempah-rempah Nusantara tercium oleh hidung penguasa dan saudagar besar di Spanyol, Portugis, Belanda, juga Inggris. Mereka datang sejak permulaan abad ke-16. Membangun armada laut besar-besaran. Dilengkapi prajurit dan peralatan perang. Dari bedil sampai cetbang dan meriam. Mereka mengarungi samudra. Membangun kubu dan benteng di Nusantara. Baku tembak, baku hantam, demi beras, cengkih, lada, rempah-rempah dan hasil bumi lainnya. Apa yang tumbuh dari bumi Nusantara adalah kekayaan. Harus direbut, harus dikuasai. Dengan gagasan kemanusiaan dan peradaban, bisa juga dengan senjata dan strategi divide et empera. Jejak perebutan dan penaklukan bangsa-bangsa Eropa atas Nusantara bisa ditemukan di 459 benteng yang tersebar di berbagai pulau, berikut cerita peperangannya.

Buku sejarah Indonesia kemudian ditulis. Isinya melulu tentang penderitaan dan perlawanan terhadap penjajah, bangkitnya nasionalisme, patriotisme, dan seterusnya dan seterusnya. Pendek kata, sejarah Indonesia, tebalnya adalah sejarah politik. Tentang kuasa dan perebutannya. Mengajarkan nasionalisme dan patriotisme, dengan melupakan petani dan pertanian yang setiap hari berurusan dengan tanah dan air. Nama-nama pahlawan disebut, tapi nyaris tidak ada hubungannya juga dengan petani dan pertanian. Seolah mereka tak perlu pangan, tak butuh petani.

Ada satu babakan besar cerita tentang pertanian yang menghabiskan ribuan lembar buku sejarah. Sebagian disusun berdasarkan laporan kolonial Belanda di Hindia Belanda. Isinya tentang Cultuurstelsel alias Tanam Paksa, yang berlangsung lebih dari 100 tahun—dengan berbagai revisi kebijakannya (1835 – 1940)--yang keuntungannya bisa menuntup kerugian kolonial setelah Perang Jawa (1825 – 1830). Belanda jadi kaya raya karena agribisnis di Hindia Belanda. Inilah pengalaman pertanian Indonesia. Pengalaman agribisnis setelah ratusan tahun hidup sebagai bangsa berbudaya petani di negeri agraris (agriculture).

Ingat-ingatlah! Bukan petani yang datang menjajah bangsa dan negeri ini, melainkan para pedagang Eropa. Ladang mereka adalah pasar. Hulu hilir kehidupannya ada di pasar. Di batas untung-rugi. Di antara jual dan beli. Mereka menanam tebu dan teh hanya karena harga kedua komoditas itu sangat tinggi di pasaran dunia. Mereka membuka ladang dan perkebunan, semata-mata karena kehendak pasar, bukan karena manusia Nusantara membutuhkannya. (Dalam kasus ini, perkebunan sawit yang dibuka secara besar-besaran di pulau-pulau besar Nusantara adalah contoh terbaik, untuk bisa membayangkan Cultuurstelsel masa lalu).

Pasar bagi pedagang berarti segalanya. Dan cerita penjajahan Indonesia sesungguhnya tak lebih dari cerita penjajahan pasar atas sawah, ladang, dan pertanian. Penjajahan petani oleh pedagang. Petani Nusantara oleh pedagang Eropa.

Ada juga akhirnya buku sejarah tentang Pemberontakkan Petani di Banten (1888), Sumatera Barat, pembunuhan Bupati Cianjur oleh buruh tani perkebunan teh dalam kurun waktu yang berdekatan, sebagai cikal bakal permusuhan antara petani melawan pedagang, dengan kaki tangannya para penguasa lokal (contoh bagus pada jaman sekarang adalah Perlawanan Petani Kendeng, melawan pengusaha semen yang dibantu para pejabat provinsi). Semua cerita itu sama saja isinya. Penguasa, para pejabat di semua tingkatan, selalu lebih suka bersekongkol dengan pedagang daripada petani. Bahkan dalam banyak kasus, mereka ramai-ramai mengeksploitasi petani.

Zaman pergerakan tiba. Perlawanan dan kerusuhan merebak di Hindia Belanda. Tidak lagi sporadis, melainkan terorganisir dan terencana. Petani berhimpun dengan sesama petani menjadi kaum tani. Sejarah sosial Indonesia terbelah. Pedagang dan penguasa dinamai kaum kapitalis. Petani dan buruh jadi proletar. Siap bertubrukan kapan saja. Tapi jasa besar kaum tani mengusir penjajah, yaitu kaum kapitalis (pedagang dan penguasa), tidak mendapat tempat yang layak dalam sejarah Indonesia. Sejarah Indonesia adalah sejarah para elit, bukan kaum tani.

Dan kemerdekaan Indonesia tercapai. Petani menjadi kekuatan riil politik. Siapa yang berhasil menghimpun suara petani, merekalah yang berkuasa. Saking kuatnya kaum tani, Presiden Sukarno sampai mengampanyekan petani dan buruh dijadikan sebagai angkatan ke-5, bisa dipersenjatai. Musuhnya adalah para tengkulak dan rentenir. Mereka menyebutnya kaum kapitalis.

Sejarah berbelok tajam. Menjerumuskan kaum tani dalam stigma yang begitu buruk. Petani, pertanian, dan gerakan tani, disamaratakan sebagai PKI. Di zaman Orde Baru, boleh bertani tapi tidak boleh berhimpun, tidak boleh menjadi kekuatan sosial, apalagi politik. Petani dan pertanian sepenuhnya berada di bawah kuasa negara.

Sampai ular besayap, ikan berlari-lari di tanah lapang; petani, kaum tani, tidak akan menjadi kuat dan sejahtera jika tidak berhimpun dalam sebuah gerakan sosial. Jika dulu musuhnya adalah rentenir dan tengkulak, sekarang ini adalah para mafia pertanian. Si penarik untung terbesar dari setiap  kebijakan pertanian yang diambil oleh pemerintah. Dari kebijakan menanam sampai panen. Dari benih, pupuk, sampai sirkulasi semua hasil produksi.

Hidupkan dimensi sosial dan politik kaum tani, maka mereka bakal sanggup memerangi kemelaratannya sendiri, memerangi ketidakadilan yang membuat mereka miskin.***

Sumber : PatriotPangan

#petanigowa

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perbedaan Pertanian Organik dan Konvensional

Pertanian Organik dan konvensional Pada dasarnya kedua sistem pertanian ini menggunakan teknik sama, namun yang membedakan adalah penggunaan bahan untuk membantu proses pertumbuhan dan hasil tanaman. Apabila dengan sistem organik bahan-bahan yang digunakan relatif aman karena berbahan dasar dari alam sedangkan sistem konvensional lebih cenderung menggunakan bahan-bahan kimia untuk mempercepat proses panen tanaman. Hal tersebut adalah perbedaan utama dari sistem pertanian organik dan konvensional. Adapun secara lebih spesifik lagi, perbedaan dua sistem pertanian ini bisa dilihat dari dua aspek yaitu kelanjutan ekosistem dan hasil. Adapun untuk kelanjutan ekosistem, perbedaan antara dua sistem pertanian ini tampak dalam: Prioritas, apabila konvensional lebih mengutamakan kuantitas produksi tanaman sedangkan organik lebih cenderung memperhatikan kestabilan ekosistem dan keseimbangan unsur-unsur dalam tanah, Sifat, dalam sistem organik keharmonisan antara ekosistem dan tanaman alami se...

Ratusan Mahasiswa Polbangtan Gowa Study Pertanian di Desa Kanreapia Tombolo Pao Gowa

  Sekitar 245 Mahasiswa Tk. I dan II program studi D-IV Penyuluhan Pertanian Berkelanjutan Politeknik Pembangunan Pertanian (Polbangtan) Gowa melaksanakan kunjungan praktik lapangan di Desa Kanreapia Kecamatan Tombolopao Malino Kabupaten Gowa (19/06).

Lahan Pertanian Kanreapia Jadi Tempat Belajar Pemuda Bine

  Beberapa tahun terakhir lahan pertanian Kanreapia menjadi kunjungan study pertanian, lahan - lahan pertanian menjadi tempat belajar, tempat diskusi dan jelajah desa Kanreapia