Langsung ke konten utama

Kembali Ke Desa, Kembali Bertani

KEMBALI KE DESA

Desa dengan kehidupan hakiki yang ada, penuh canda penuh makna, dan penih sukma,..

Desa dengan tali kasih nan erat, ingin bergerak maju cepat, laksana metropolis nan kuat rasa sosialnya, ingin berdiri dan berkembang dengan potensi yang melimpah dan menghidupan kami dengan RahmatNya,…

Wahai sarjana-sarjanaku nan penuh integritas, penuh kapasitas akademik, busungkan dadamu, kepalkan semangatmu, satukan hatimu, satukan asa dan rasamu, satukan semangat juangmu, membangun negeri ibu pertiwi nan rendjana…

Ketika engkau lahap ilmu-ilmu tuk bangun kapasitas integritasmu, ketika engkau larut  dengan komunitas akademikmu adalah asa, doa dan peluh ibu bapakmu yang selalu mendukungmu,…

Tatkala keringatmu mengalir jatuh ditanahku yang juga desa tanah kelahiranmu, tatkala rasa yang sukma engkau satukan buat desamu adalah kalbu kami bersatu bersamamu,….

Setiap langkah-langkah kecilmu, bersama kami, wahai sarjana-sarjanaku, wahai anak-anak cucuku adalah doa-doa nan kalbu buatmu, buat kami yang menunggumu..

Inilah akademis ilmiahku buatmu,..
Pernahkah diantara kita mencoba bertanya kepada para calon sarjana: kemana mereka akan pergi setelah menyandang gelar akademi? Atau, pernahkan para calon sarjana bertanya kepada diri sendiri, kepada nuraninya, kemana akan pergi setelah dinyatakan sebagai sarjana yang membawa ijasah akademi? Pertanyaan ini terasa sangat penting, terutama jika kita menyaksikan makin derasnya arus urbanisasi, dan pada sisi yang lain, makin tingginya gap antara desa dan kota. Kita tentu tidak hendak mendiskusikan mengenai disparitas desa dan kota, melainkan hendak mempersoalkan mengapa desa tidak menjadi lokasi yang menarik bagi kaum terdidik, bukan sekedar sebagai obyek penelitian, melainkan sebagai tujuan pengabdian mereka. Apakah benar desa tidak menawarkan masa depan, dan hanya menyisakan masa lalu?
Persoalan ini mungkin dapat dirunut dari dua sumber. Pertama, dari suatu pola hubungan antara desa dan kota, yang secara actual memang memiliki kesenjangan, dalam mana kota terkesan memiliki nilai lebih ketimbang desa. Sambutan orang desa pada orang kota yang datang ke desa, dan demikian sebaliknya, memperlihatkan suatu relasi yang timpang. Kondisi ini dapat dipandang sebagai salah sumber yang menyumbang persepsi bahwa desa bukanlah lokasi impian di masa depan, tetapi sebaliknya kota. Ritual mudik, pada setiap tahun, memberi bukti lain, bahwa meskipun desa (kampung halaman) dapat menjadi oase dari kepenatan hidup di kota, namun hal tersebut lebih sebagai lokasi sementara, bukan lokasi nyata yang hendak dituju. Bahkan pada sisi yang lain, peristiwa mudik, menjadi saksi dari gairah konsumsi yang justru meminggirkan tradisi kesederhanaan. Artinya, persitiwa mudik, bukan meneguhkan desa sebagai idealita kehidupan, melainkan hanya menjadi ajang peneguhan prestasi material, yang juga sebagai undangan bagi warga desa yang lain untuk datang ke kota mengadu nasib.

Kedua, dari pergulatan keilmuan di kampus. Pertanyaan kritis yang layak diajukan adalah apakah pergulatan keilmuan di kampus, cenderung mendorong intelektual muda untuk meletakkan masa depan pengabdiannya di desa ataukah di kota-kota besar, bahkan di kota-kota besar dunia. Peta pilihan bidang studi, secara sederhana sesungguhnya sudah menunjukan kemana masa depan dari para mahasiswa. Minimnya minat pada studi-studi yang berkait langsung dengan dinamika pedesaan, atau minimnya minat pada studi-studi yang berkait dengan kehidupan rakyat yang ada di lapis bawah struktur sosial, menjadi petunjuk yang jelas, apa yang sesungguhnya ada di benak intelektual muda kita. Tentu tidak salah memiliki mimpi mengabdi pada modernitas, dengan seluruh capaian materialnya. Namun, yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana desa dapat berkembang, jika mereka yang memiliki kapasitas baik, jika mereka yang tinggi tingkat keilmuannya, justru tidak mengabdi pada mereka yang ada di bawah struktur sosial. Kita berharap masa depan berisi perubahan, baik menyangkut cara pandang terhadap desa, maupun perubahan dalam pergulatan keilmuan, dengan arah adanya gairah baru untuk menjadikan desa sebagai tujuan pengabdian.

(suluh desa dan jiwaku)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bupati Gowa Serahkan Trofi Penghargaan Kampung Iklim Lestari Untuk KBA Kanreapia Tombolo Pao

Penerimaan penghargaan - penghargaan di hari jadi Gowa ke 702 Tahun, Kanreapia menerima trofi penghargaan Kampung Iklim Lestari dari Bupati Gowa. Dr. Adnan Purichta Ichsan YL S.H,. MH. Kanreapia menjadi satu - satunya desa yang berhasil mendapatkan penghargaan kampung iklim lestari tahun 2022 oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia. 

Yess Open Day Gowa Sukses di Gelar, Petani Muda Semakin Semangat Bertani

  Gowa – Program Youth Entrepreneurship and Employment Support Services (YESS) merupakan sinergi Kementerian Pertanian (Kementan) dengan IFAD yang fokus pada penumbuhan petani serta wirausaha muda pertanian. Sebagai salah satu progres pelaksanaan program YESS, Politeknik Pembangunan Pertanian (Polbangtan) Gowa, selaku Provincial Project Implementation Unit (PPIU) Sulawesi Selatan menggelar pameran pertanian bertajuk “Open Day”.

Embung Pertanian KBA Kanreapia di Kabupaten Gowa Sulsel

  Embung Pertanian KBA Kanreapia di Kecatamatan Tombolo Pao Gowa Kebutuhan air petani Kanreapia saat musim kemarau terbilang cukup tinggi, air menjadi hal yang penting dalam proses budidaya sayur mayur agar tetap tumbuh subur menghasilkan panen yang melimpah. Petani Kanreapiapun memiliki caranya agar kebutuhan air mereka bisa terpenuhi yaitu dengan membuat embung pertanian. Embung pertanian di desa inipun terlihat dimana – mana, dengan ukuran yang berbeda – beda tergantung luas area lahan masing – masing petani. Di sadari bahwa embung sangat bermanfaat, baik untuk menampung air hujan, usaha budidaya ikan dan pastinya untuk kebutuhan pengairan lahan pertanian.