Langsung ke konten utama

Petani Kita diDominasi Lulusan SD, Kemana Para Sarjana

[Mencari Sarjana Pertanian Indonesia]

Wahai saudaraku petani, dengan istri dan anakmu,
Garis-garis wajahmu di abad 21 ini
Masih serupa dengan garis-garis wajahmu abad yang lalu..

(Kutipan puisi “Malu Aku Menatap Wajah Saudaraku Para Petani” oleh Taufik Ismail (2003))

Adalah benar yang dikatakan Pak Taufik Ismail, wajah petani kita memang tidak pernah berubah karena petani kita didominasi para lulusan SD yang puluhan tahun kemudian masih “bertahan” menjadi petani.  Seringkali juga kita mendengar anekdot ini: sarjana pertanian bisa bekerja dimana saja kecuali di sektor pertanian. Data berikut bisa bercerita kondisi tersebut yang mana saat ini sekitar 75% pekerja sektor pertanian adalah lulusan SD atau yang tidak lulus SD. Sementara itu, lulusan SMP yang menjadi petani ada 15%, 9% lulusan SMA, dan hanya 1% yang memiliki gelar sarjana [1]. Lalu kemana para sarjana pertanian? Padahal tahun 2010 jumlah mahasiswa pertanian Indonesia 173.158 orang. Dengan asumsi masa kuliah lima tahun, lulusan setiap tahun sekitar 34.000 orang. Menurut Ditjen Dikti (2010), pada tahun 2025 diperkirakan jumlah mahasiswa pertanian mencapai 5% atau sekitar 536.000 orang sehingga lulusan per tahun mencapai 100.000 orang [2].

Terlebih lagi, biografi kesejahteraan petani indentik dengan kemiskinan. Pada tahun 2002, dari 38,4 juta orang miskin di Indonesia; 65,4% berada di pedesaan; dan 53,9 % adalah petani. Pada tahun 2003, dari 24,3 juta rumah tangga petani yang berbasis lahan, sekitar 20,1 juta (82,7 %) diantaranya dikategorikan miskin. Dengan demikian, sebagian besar petani adalah miskin, dan sebagian besar orang miskin adalah petani [3].

Kondisi di atas jelas sangat disayangkan mengingat bangsa kita adalah negara agraris dan maritim. Sektor pertanian memegang peran penting dalam menyumbang pemasukan bagi negara. Data Badan Pusat Statistik menyebutkan sumbangsih sektor pertanian terhadap pemasukan domestik bruto tahun 2011 sebesar 14.7%, kedua setelah sektor industri pengolahan [4]. Sektor pertanian juga menyumbang setengah dari pengurangan kemiskinan dan menjadi sektor yang bertahan saat krisis moneter 1998 [5].

Terkait fenomena di atas, Guru Besar IPB, Prof. Ali Khomsan, pernah berpendapat[6] bahwa sebagai pelipur lara, siapa pun boleh berdalih bahwa kuliah S1 di perguruan tinggi sebenarnya untuk mengasah nalar. Selama studi di perguruan tinggi, mahasiswa berlatih menganalisis beragam masalah sesuai dengan ilmunya, belajar berdiskusi, menulis paper, sampai meneliti. Hasilnya, sarjana yang cepat menyesuaikan diri dengan tuntutan pekerjaan. Apakah pekerjaannya sesuai atau tidak sesuai dengan latar pendidikannya, hal itu ternyata tidak menjadi persoalan.

Padahal, dalam menempuh pendidikan tinggi di perguruan tinggi negeri, negara memberi subsidi puluhan juta rupiah kepada setiap mahasiswa hingga menjadi sarjana. Namun, ilmu yang dipelajari akhirnya tidak dapat dimanfaatkan secara optimal karena bekerja di bidang yang tidak sesuai dengan ilmu yang telah dipelajarinya di universitas.

Bicara tentang untung rugi tentang kondisi ini, negara –termasuk petani itu sendiri di dalamnya- dan perguruan tinggi, yang paling merugi. Bukankah mereka telah mencurahkan biaya, tenaga, dan pikiran untuk mendukung pendidikan sarjana pertanian? Tapi ternyata para sarjana ini menolak ingat untuk membangun bidangnya. Ya, mahasiswa mungkin rugi juga karena sudah sulit-sulit belajar, tapi kita ini masih lebih diuntungkan karena toh para perusahaan di luar sana mengerti dan sadar bahwa sarjana ini hanya perlu dibekali sedikit lagi agar sesuai dengan dunia kerja pilihannya, yang penting sarjana. 

Menakar idealisme sarjana pertanian, menolong mereka yang pragmatis
Mengapa sarjana pertanian penting membangun sektornya? Karena kitalah yang memiliki kapasitas itu, kita yang memiliki ilmunya. Dengan keilmuannya, seyogyanya lulusan pertanian mempunyai peran strategis membangun bidangnya. Mantan menteri pertanian Indonesia, Pak Anton Apriyantono pernah berkata: “Jangan pernah bermimpi pertanian Indonesia akan maju, selama pembangunan pertanian masih kalian serahkan kepada petani yang hanya lulusan SD.” Dengan kenyataan di atas seharusnya telah memberikan cukup alasan agar pragmatisme sarjana pertanian harus dapat diubah. Ah, lagi-lagi ini terlalu idealis. Kalau begitu, mari kita lebih realistis.

Idealisme dan pragmatisme muncul sebagai reaksi terhadap realitas. Para idealis memilih mempertahankan pandangannya meski kadang dikatakan suka melawan realitas. sementara para pragmatis lebih memilih mencari jalan aman. Para pragmatis bisa jadi menilai para idealis mirip sebagai voluntir yang tidak realistis dan harus siap hidup miskin. Kaitannya dengan pertanian, apakah benar demikian? Apakah dua kubu ini bisa dipertemukan? Dalam hal memperbaiki kesejahteraan petani, saya pikir mungkin.

Mari berpikir positif, saya yakin mereka para lulusan pertanian yang pragmatis bukan tidak peduli sama sekali dengan pertanian. Mereka hanya tidak mampu bertahan dan tidak tahu harus berbuat apa. Maka, obat bagi para pragmatis adalah dengan ide dan sistem. Di sinilah peran para idealis yang masih berjuang untuk menolong para pragmatis. Dengan keoptimisan dan ‘kebandelan’ para idealis dalam berjuang, para idealis bisa menjadi penggerak para pragmatis.

Menurut saya, program swadaya Indonesia Mengajar yang dirintis oleh Anies Baswedan telah menjadi bukti bagaimana idealisme bisa menggerakkan pragmatisme. Coba Anda bayangkan, sebelumnya berapa banyak sarjana yang mau ke pulau terluar untuk menjadi guru dan hidup bersusah-susah? Sedikit sekali. Tapi dalam kurun 3 tahun Indonesia Mengajar mampu mengundang 20.000 ribu sarjana Indonesia untuk berebut mengambil peran di pulau terluar[7]. Kemudian untuk profesi yang lebih spesifik juga ada Pencerah Nusantara yang mengirimkan dokter-dokter muda terbaik Indonesia untuk mengabdi di pulau terluar. Saya yakin, yang tadinya pragmatis pun juga ikut tergugah ikut program ini.

Kalau saya cermati, pola yang sama yang saya lihat dari dua program di atas adalah mereka bisa mengemas suatu gagasan yang idealis menjadi program yang bisa menarik perhatian banyak orang. Pada dasarnya yang mereka tawarkan adalah profesi voluntir dengan masa kerja satu tahun saja. Setelah itu, voluntir selanjutnya akan diganti oleh voluntir selanjutnya melalui program perekrutan berkala setiap tahun. Jadi, para voluntir ini bisa tetap berkarya sesuai cita-cita karirnya tanpa mengganggu keberlanjutan tenaga pengajar di daerah penempatan. Dengan pengelolaan dana masyarakat, penyelenggara kegiatan juga bisa menjamin kesejahteraan hidup para voluntir dan karena dananya swadaya dari masyarakat –minim campur tangan pemerintah- saya yakin transparansi dana bisa berjalan baik dan lebih profesional. Jadi, dengan sistem ini, profesi yang idealis bisa tetap bernilai dan memikat, dan realistis.  

Dari contoh di atas kita bisa belajar bahwa jalan memperjuangkan nilai dan cita-cita ideal dengan menjadi pejuang di jalan sunyi atau berjuang sendiri dengan mengabdi itu sudah tidak relevan. Kembangkan ide, bangun komunitas, bangun sistem, dan kelola dana masyarakat.  Inilah kekuatan sinergi dan ini akan lebih menggerakkan. Di sini para idealis sarjana pertanian bisa berhimpun mengambil peran sebagai penggerak untuk membuat program serupa. Dengan program ini kita bisa membantu mengisi kekosongan tenaga pertanian di daerah. Mereka yang pragmatis dapat diundang untuk bergabung, mulai dari sebagai tenaga voluntir, sampai donasi atau bantuan jaringan. Seminim apapun, ajak mereka bergerak. Saya yakin di lubuk hati mereka yang terdalam masih ada keresahan terhadap kondisi pertanian Indonesia dan jika diajak bergabung, mereka pasti mau membantu. Sehingga, bukan tidak mungkin di masa yang mendatang pragmatisme sarjana pertanian bisa dikurangi.

Selain itu, kesadaran personal ini harus didukung banyak pihak, termasuk institusi pendidikan. Misalnya, universitas mempunyai peran penting dalam hal memotivasi lulusannya untuk bekerja sesuai bidangnya, misalnya seperti ECC UGM yang merupakan pusat informasi dan pengembangan karir di bawah Fakultas Teknik UGM. Perbaikan di segala sektor tetap dibutuhkan seperti kaitannya dengan kebijakan pemerintah, kurikulum pertanian, dan sistem pendidikan. Tanpa dukungan banyak pihak, idealisme ini akan lebih mudah goyah.

Melawan realitas itu memang sulit jika sendiri, akan tetapi kumpulan para idealis bisa saling melengkapi dan bergerak mensolusikan pragmatisme. Agar kau bisa tetap lantang berkata seperti Soe Hok Gie, "Saya sudah lama memutuskan harus menjadi idealis sampai batas sejauh-jauhnya." Saya optimis idealisme dan realitas bukan selalu untuk dibenturkan, mereka masih bisa dipertemukan. Pertanian Indonesia masih punya harapan.
oleh: Murdiati S.S

Sumber.
#PetaniBerdasi

#petaniGowa

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bupati Gowa Serahkan Trofi Penghargaan Kampung Iklim Lestari Untuk KBA Kanreapia Tombolo Pao

Penerimaan penghargaan - penghargaan di hari jadi Gowa ke 702 Tahun, Kanreapia menerima trofi penghargaan Kampung Iklim Lestari dari Bupati Gowa. Dr. Adnan Purichta Ichsan YL S.H,. MH. Kanreapia menjadi satu - satunya desa yang berhasil mendapatkan penghargaan kampung iklim lestari tahun 2022 oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia. 

Yess Open Day Gowa Sukses di Gelar, Petani Muda Semakin Semangat Bertani

  Gowa – Program Youth Entrepreneurship and Employment Support Services (YESS) merupakan sinergi Kementerian Pertanian (Kementan) dengan IFAD yang fokus pada penumbuhan petani serta wirausaha muda pertanian. Sebagai salah satu progres pelaksanaan program YESS, Politeknik Pembangunan Pertanian (Polbangtan) Gowa, selaku Provincial Project Implementation Unit (PPIU) Sulawesi Selatan menggelar pameran pertanian bertajuk “Open Day”.

Petani Adalah Pekerjaan Mulia, Karena Petani Merupakan Bentuk Pengabdian Kepada Negara

Sejatinya #petani adalah pekerjaan yang sangat mulia, dan jangan lagi dipandang sebelah mata sebagai suatu mata pencaharian. Karena petani adalah salah satu bentuk pengabdian terhadap negara dengan memberi makan kita semua. Melalui jasa-jasa para petani lah sampai dengan hari ini kita masih bisa menikmati berbagai macam hasil yang dihasilkan oleh para petani, seperti beras, sayuran, buah-buahan dan berbagai hasil pertanian para petani Indonesia. HIDUP PETANI !!! Sumber SPI. #PETANIGowa